Minggu, 25 Juli 2010

Pelajaran dari Isteri ( Cerita VIII )

”Aku pernah menemani Pendeta, ketika di kuil tidak ada makanan lain, selain sekantung kecil beras dengan kualitas tidak baik. Kami menjemurnya di halaman, memisahkan dari kotoran dan kutu-kutu. Beras itu kami cuci lama agar lebih bersih. Dijadikan bubur yang hambar dan cuma mengenyangkan sekejap saja. Segenggam beras yang dimasak menjadi bubur itu kami makan berlima. Engkau masih amat mentah untuk mengerti ini,” kata Sang Petualang kepada isterinya.

Hari itu di rumah mereka tidak ada yang bisa dimasak. Isterinya menangisi kelaparan dan kemiskinan mereka di pojok tungkunya.
Dia hanya mengumpulkan kayu-kayu bakar dalam 3 hari ini tanpa sekali pun ada yang bisa dia bakar di dapurnya untuk memasak.
Dia telah menahan lapar, berharap suaminya segera pulang dan membawa sesuatu. Suaminya memang pulang.Tapi dalam kondisi amat kelelahan dan tanpa apa-apa.
”Apakah aku bagaikan kau paksa akhirnya untuk mengemis karena derita ini, sedangkan harga dirimu amat tinggi ?,” keluh isterinya.
”Aku telah memaksamu memahami makna menjadi miskin dan demikian bukan cinta lagi yang tumbuh darimu kepadaku, kurasa cintamu akan menjadi gugatan-gugatan kepadaku,” jawab suaminya.
”Engkau tidak memahami tanggungjawab yang kumaksud,” gugatan isterinya, pertama kali dalam masa pernikahan mereka.
”Apakah nasibku menjadi beban bagi nasibmu ? Bukankah aku membawamu untuk menjadi pendampingku, bukan seseorang yang mengeluhkan buruknya usahaku dan salahnya aku memahami tanggungjawab. Sedangkan aku adalah aku yang menentukan diriku. Dan padamu kuharapkan sebuah tempat aku lebih kuat ?,” gugat Sang Petualang kepada isterinya, pertama kali dalam masa pernikahan mereka.
Isterinya menangis.Tubuhnya yang semakin tak berisi, wajahnya yang semakin menderita, pancaran matanya yang semula penuh harapan dan cinta, sekarang lebih menyorotkan keputusasaan.
Dia bersimpuh di kaki suaminya.
”Bagaimana engkau mengamati aku hari ke hari ?Membiarkan aku menderita sedang aku mencintaimu ?Kenapa begitu keras kau perlakukan aku, padahal kau tahu seperti apa”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mereka menghabiskan energi dan waktu untuk menjadi perpanjangan aspirasi rakyat. Tapi mereka sendiri tidak tahu apa yg bertunas di masyarakat. Bagiku ini rancu dan tidak lebih dr perjuangan uang. Tidak akan membawa perubahan kecuali eksploitasi derita. Smg ada yg menghentikan ini.