Minggu, 25 Juli 2010

Percakapan-Percakapan Indah di Kuil ( Cerita II )

"Pendeta adalah rumah bagi hati, ia berpengalaman di gua-gua, mengenal tiap setapak, menyadari kapan berhenti, kapan berlari. Pendeta adalah pedang bagi kemalasan mengemasi jejak-jejak, menajamkan mata memandang lanskap, membiarkan kapan terpejam, kapan berkedip, untuk mengelak debu-debu perih," kesimpulan Sang Ppengkelana.

Sang Pengkelana telah mendaratkan sementara waktunya di halaman kuil.
Dia meletakkan keberanian dan kemasyhuran sejenak di depan keheningan kuil yang menjadi tempat hidup dan tinggal Pendeta.

"Langkah-langkah bukan ditujukan pada maksudmu, jika nasib masih menjadi harapanmu. Tapi nasib juga bukan kehendakmu, selagi padanya kau cuma mengenal tujuan, karena kau takkan pernah mendapatkan kesimpulan. Bahkan ketika kau anggap perjalanan telah selesai," kata Pendeta.

'Guguran-guguran daun cemara jatuh di halaman. Tidak berubah selama musim menghendaki dan tanah menerima. Pohon dan tanah adalah pasangan kehidupan yang dibiarkan nasib bersatu. Langit menyuburkannya dengan hujan, angin menguatkannya dengan perubahan-perubahan.
Selama kau berjalan, kesendirian adalah pilihanmu. Sama halnya gunung tidak beranjak dari tempatnya tapi akan bergerak ketika kau bergerak. Tapi seorang pria adalah tanggungjawab bagi nasib dan perubahan. Engkau bisa menghabiskan waktumu seperti aku di kuil, untuk menumbuhkan jiwa mati yang seperti ikan paus tak mengenal laut lagi dan terdampar.
Apakah kau seperti itu ?", tanya Pendeta kepada Sang Pengkelana.

"Aku pemilik diriku dan kehendakku, aku berhenti padamu bukan seperti ikan paus yang mati. Aku berpijak diam bukan pula seperti gunung. Aku pemilik seluruh laut dan daratan, karenan benar katamu Pendeta, pria adalah tanggungjawab bagi nasib dan perubahan," jawab Sang Pengkelana.

Pendeta tersenyum
Dia menaburkan biji-bijian di tangannya ke lantai papan kuilnya yang tua dan lembab.

"Menurutmu apakah buji-bijianku akan bertunas di lantaiku in i ?", tanya Pendeta.

"Tidak, tentu saja. Kau harus menaburkannya di tanah, kita tahu itu"

"Jika kutabur di tanah, di tanah yang manakah itu ?"

"Ditanah yang kau garap, selalu seperti itu. Biji-bijian membutuhkan tanah yang baik dan penggarap yang mengerti."

Pendeta tersenyum kembali.
Dia menyanyikan puji-pujian ini :
"Wahai pemilik diriku dan kehendakku, padaku nasib dan perubahan menjadi tanggungjawab. Tidak akan berhenti kehidupan jika penggarap pulang kepada tanah garapan untuk menaburkan biji-bijian. Pohon dan tanah adalah pasangan kehidupan. Alam menghendaki kematian sebanyak dia mengharuskan kelahiran.
Wahai para penggarap,
ketika engkau membiarkan kehendakmu menjadi pasangan dirimu, bahkan bumi tidak sanggup menentangmu dan langit tak berdaya memaksamu. Hanyalah engkau yang memiliki kehendakmu, untuk berkehendak pula menjaga kehidupan yang menumbuhkan gbiji-bijian di tanah yang menjadi harapan-harapan. Pikulan yanggungjawabmu bukan terletak seberapa jalan telah kau tempuh, tapi apa yang telah kau tumbuhkan."

"Wahai pemuda.
karena itu bunga-bunga mekar bisa kau lihat keindahannya, embun bisa kau rasa kesejukannya, matahari bisa kau nikmati kehangatannya. Supaya engkau dapat mengenal bahwa tangan-tanganmu yang kasar, tubuhmu yang kuat-- milik tangan-tangan yang halus, dan tubuh yang lembut yang meminta kehidupan dan pengayoman darimu.."

Pendeta berdiri, katanya sambil memandang tiang kuilnya,
" Hentikan langkahmu bukan di kuil. Tapi bangunlah tempatmu sendiri dan biarkan perempuan merawatnya dan menumbuhkan kehidupan darimu."

Wandha Chandrawati, 8 November 09
12 cerita kepada Sang Pengkelana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mereka menghabiskan energi dan waktu untuk menjadi perpanjangan aspirasi rakyat. Tapi mereka sendiri tidak tahu apa yg bertunas di masyarakat. Bagiku ini rancu dan tidak lebih dr perjuangan uang. Tidak akan membawa perubahan kecuali eksploitasi derita. Smg ada yg menghentikan ini.